Senin, 02 Juli 2012

ilmu pengetahuan dan kekuasaan


Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan

. Pendahuluan
Adanya pengetahuan dan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari manusia. Manusia adalah yang memiliki pengetahuan dan berilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan sistem yang dikembangkan manusia untuk mengetahui keadaannya dan lingkungannya, serta menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, atau menyesuaikan lingkungan dengan dirinya dalam rangka strategi hidupnya. Ilmu itu diolah ke dalam atau mejadi teknologi untuk diterapkan. Dengan demikian, tujuan teknologi menjadi jelas dan pengembangannya terarah dan bersasaran, yaitu untuk kesejahteraan, kemudahan, dan keuntungan bagi manusia (Jacob, 19998:1). Di masa prailmiah, pengetahuan diperoleh secara empiris turun-temurun, kemudian diteruskan dengan eksperimen dan logika. Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju dengan sangat pesat. Teknologi modern dalam era globalisasi ini telah mencapai kemajuan yang luar biasa. Tetapi, mustahil akan ada titik terakhir, karena ilmu-ilmu baru dan berbagai konsekuensinya akan terus bermunculan.
Ilmu sendiri memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya, ilmu pengetahuan dapat meringankan kehidupan manusia. Tenaga alam membebaskan manusia dari perbudakan, mesin membebaskan manusia dari pekerjaan yang monoton, mesin cerdas membebaskan manusia dari berpikir, dan pengobatan membebaskan manusia dari rasa sakit. Sedangkan sisi negatifnya, ilmu pengetahuan dapat menghasilkan alat perang, apalagi jika disalahgunakan seperti ketika bom atom diledakkan. Untuk itulah seorang ilmuwan harus harus bermoral, bertanggung jawab, dan diikat oleh kode etik.
B. Landasan Epistemologis
Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang menggeluti masalah-masalah yang bersifat menyeluruh dan mendasar mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Jadi objek material filsafat ilmu adalah pengetahuan dan objek formal atau segi tinjauannya adalah menangkap, menemukan ciri-ciri umum pengetahuan, dan bagaimana proses manusia dapat memperoleh pengetahuan dan bagaimana kebenaran pengetahuan manusia dapat diuji dan dipertanggungjawabkan (Jacob, 2005:6).
Terdapat teori mengenai kebenaran, antara lain (disarikan dari http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-35.html):
  1. The correspondence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan faktanya.
  2. The consistence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui benarnya terlebih dahulu.
  3. The pragmatic theory of truth. Benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada kemanfaatan teori tersebut bagi kehidupan manusia. Dalam tulisan ini akan dikaji masalah ilmu pengetahuan dan kekuasaan dari sudut pandang epistemologis, dan bagaimana pemanfaatan ilmu tersebut dalam kaitannya dengan kekuasaan.
C. Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan
Hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan itu sendiri telah lama ada. Di zaman prailmiah, kekuasaan adalah milik Tuhan. Tidak banyak yang dapat dilakukan manusia dalam kondisi yang paling baik sekalipun dan keadaan itu akan memburuk sama sekali jika manusia terkena kemarahan Tuhan. Sebaliknya, dalam dunia ilmu pengetahuan, semuanya berbeda. Segala sesuatu berjalan sesuai yang kita kehendaki dengan pengetahuan tentang hukum alam (Bertrand Russell, 1991:14-15).
Pada abad pertengahan di Eropa, gereja yang merupakan pusat keagamaan dan ilmu pengetahuan sekaligus juga berfungsi sebagai pusat politik dan kekuasaan. Organisasi agama ini mengembangkan tradisi sendiri. Sekolah-sekolah biara (skolastik) didirikan di sejumlah tempat. Dapat dikatakan bahwa kekuasaan politik gereja sangat efektif, sehingga akhirnya berhasil memaksakan penguasa Romawi menerima Kristen sebagai agama resmi di seluruh imperium Romawi yang hancur karena berbagai pemberontakan. Kekuasaan gereja ini akhirnya berhasil mendominasi perjalanan filsafat dan berbagai ilmu. Pada masa ini berbagai universitas berdiri di berbagai kota besar di Eropa. Kurikulumnya pun harus direstui gereja terlebih dahulu.
Ketika unsur kekuasaan menjadi begitu mengakar pada ilmu pengetahuan, pengetahuan dan ilmuwannya menjadi semacam rezim (http://jurnalyics.tripod.com/EDITORIAL1.htm). Segala sesuatu harus tunduk pada peraturan penguasa. Rezim yang terbentuk sering kali sulit menghindari ungkapan klasik dari Lord Acton, ”power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung merusak dan kekuasaan yang mutlak benar-benar merusak).
Hasil pengetahuan dalam bidang komunikasi dan informasi telah digunakan untuk membelokkan informasi sesuai kepentingan politik dan kekuasaan, siapa yang menguasai informasi dialah yang dapat menguasai dunia. Misalnya, informasi dari Barat yang menyatakan Islam identik dengan terorisme, sedangkan Amerika dan Israel yang menyerang Irak dan Palestina justru dibela terutama oleh sekutunya dan mendapat bantuan dana untuk melaksanakan serangan tersebut.
Dalam hal ekonomi, era pasar bebas akan menguntungkan negara maju yang otomatis memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju juga sehingga semakin membuat negara miskin semakin miskin (lingkaran setan kemiskinan). Membanjirnya produk ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan konsumerisme, sehingga terjadi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Mereka yang berilmu tinggi akan dapat menipu yang berilmu rendah, sebagaimana ungkapan Francis Bacon bahwa ”ilmu adalah kekuasaan” (knowledge is power). Jika ilmu adalah kekuasaan maka teknologi merupakan alat kekuasaan.
Di bidang kedokteran, kloning masih menjadi pro dan kontra. Kloning merupakan teknik penggandaan gen yang menghasilkan turunan yang sama sifat baik dari segi hereditas maupun penampakannya (http://id.wikipedia.org/wiki/-Kloning). Jadi dengan kata lain kloning merupakan merupakan cara perkembangbiakan makhluk hidup untuk mendapatkan individu atau anakan yang sama persis dengan induknya tanpa melalui proses pembuahan. Kloning ditentang oleh banyak tokoh agama dan moral karena dianggap melawan takdir.
Jika kloning diterapkan pada manusia, hal ini akan mengacaukan tatanan agama yaitu perlunya keluarga dan perkawinan. Dalam artikel di situs Web http://www.voanews.com/ indonesian/archive/2003-01/a-2003-01-22-13-1.cfm, disebutkan bahwa ”Kloning adalah jalan menuju keabadian. Itulah kalimat yang dilontarkan ketua sekte agama Raelian, Claude Vorilhon. Dalam sebuah wawancara dengan jaringan televisi C-B-S, ia mengatakan, perusahaan yang didirikannya, Clonaid, telah menjadi perusahaan pertama di dunia yang menciptakan manusia lewat metode kloning.” Meskipun masih menjadi perdebatan, jika memang benar terjadi, dapat dibayangkan jika kloning diselewengkan penggunaannya untuk melahirkan dominasi ras manusia yang berkarakter tertentu yang selanjutnya dapat mengancam tatanan sosial seperti kecemburuan, penjajahan, tindakan semena-mena, dan sebagainya.
Hal yang sulit dihindari tentang ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kekuasaan. Saat seseorang berkuasa, ilmu pengetahuan yang dimilikinya akan memengaruhi segala kebijakannya. Michel Foucault mengungkapkan bahwa pertautan kekuasaan dan ilmu pengetahuan selalu membangun hubungan menguatkan. Kekuasaan sebagai kompleks strategi dinamis bisa diperankan individu atau institusi, dan kekuasaan bekerja berdasarkan mekanisme kerja ilmu pengetahuan yang dimiliki (http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu= artikel&id=1024). Dalam hal teknologi kloning, bisa saja hasil kloning yang digunakan untuk tumbuhan dan hewan disalahgunakan penguasa untuk membuat manusia kloning, dengan membuat tentara pilihan yang digunakan untuk menghabisi musuh. Hal ini bisa saja terjadi mengingat adanya penggunaan bom atom oleh pasukan sekutu untuk menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki semasa Perang Dunia.
”Modus operandi” pengaruh penguasa terhadap ilmu pengetahuan dapat dikategorikan ke dalam dua cara. Pertama secara melembaga, yaitu tidak adanya kebebasan pendidikan tinggi untuk tanpa dicampuri oleh kekuasaan luar; kedua secara perseorangan, yakni menyangkut kebebasan seseorang untuk belajar, mengajar, dan melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan kegiatan tersebut tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri (Achmad Icksan dalam Mahfud dalam http://www.mail-archive.com/gorontalomaju2020@yahoogroups.com/msg00080.html). Namun peran ilmuwan dan kaum intelektual sebagai pengendali dan agen perubahan ternyata juga dikuasai kepentingan kekuasaan. Mereka yang awalnya melontarkan berbagai gagasan kritis akhirnya juga ikut larut menikmati kekuasaan dan mengingkari idealismenya sendiri. Mereka menampilkan kesan sebagai pemecah masalah, namun dalam banyak hal lebih terlihat sebagai pembuat masalah. Hal ini menunjukkan bahwa posisi kaum ilmuwan dan intelektual rentan dipengaruhi kepentingan penguasa, baik penguasa negara maupun penguasa modal (uang).
Tanggung jawab merupakan kewajiban menanggung, menjamin bahwa perbuatan yang dilakukan itu sesuai kodrat (Setiardja, 2005:54). Jadi, seorang ilmuwan yang mengadakan penelitian harus sanggup menggunakan kebebasannya hanya untuk melakukan kebaikan, akan berusaha untuk mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kebahagiaan umat manusia, dan memperbaiki taraf hidup manusia. Demikian halnya para penguasa dengan wewenangnya untuk mengambil kebijakan juga harus bertanggung jawab atas pemanfaatan hasil ilmu pengetahuan tersebut sehingga tidak terjadi penyalahgunaan yang pada akhirnya malah akan merugikan manusia sendiri.
D. Penutup
Di atas telah disinggung bahwa kehadiran berbagai produk ilmu pengetahuan teknologi itu tidak lepas dari pengaruh kekuasaan. Pengaruh kekuasaan itu ada yang dijadikan pembenaran untuk menyalahgunakan ilmu pengetahuan. Untuk itu, kita perlu merenungkan kembali secara mendasar mengenai hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang baik bertanggung jawab atas perubahan zaman dan bermanfaat bagi semua orang, bukan segelintir orang atau kelompok tertentu saja. Ilmu pengetahuan adalah untuk kemanusiaan dan bukan untuk kekuasaan. Kebenaran ilmiah itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, tetapi relatif. Benar pada saat ini belum tentu benar di masa depan. Agama juga diperlukan agar pemanfaatan ilmu pengetahuan itu tidak disalahgunakan oleh kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar