Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan
. Pendahuluan
Adanya pengetahuan dan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari manusia.
Manusia adalah yang memiliki pengetahuan dan berilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan merupakan sistem yang dikembangkan manusia untuk mengetahui
keadaannya dan lingkungannya, serta menyesuaikan dirinya dengan lingkungan,
atau menyesuaikan lingkungan dengan dirinya dalam rangka strategi hidupnya.
Ilmu itu diolah ke dalam atau mejadi teknologi untuk diterapkan. Dengan
demikian, tujuan teknologi menjadi jelas dan pengembangannya terarah dan bersasaran,
yaitu untuk kesejahteraan, kemudahan, dan keuntungan bagi manusia (Jacob,
19998:1). Di masa prailmiah, pengetahuan diperoleh secara empiris
turun-temurun, kemudian diteruskan dengan eksperimen dan logika. Saat ini ilmu
pengetahuan dan teknologi telah maju dengan sangat pesat. Teknologi modern
dalam era globalisasi ini telah mencapai kemajuan yang luar biasa. Tetapi,
mustahil akan ada titik terakhir, karena ilmu-ilmu baru dan berbagai
konsekuensinya akan terus bermunculan.
Ilmu sendiri memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya, ilmu
pengetahuan dapat meringankan kehidupan manusia. Tenaga alam membebaskan
manusia dari perbudakan, mesin membebaskan manusia dari pekerjaan yang monoton,
mesin cerdas membebaskan manusia dari berpikir, dan pengobatan membebaskan
manusia dari rasa sakit. Sedangkan sisi negatifnya, ilmu pengetahuan dapat
menghasilkan alat perang, apalagi jika disalahgunakan seperti ketika bom atom
diledakkan. Untuk itulah seorang ilmuwan harus harus bermoral, bertanggung
jawab, dan diikat oleh kode etik.
B. Landasan
Epistemologis
Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang menggeluti masalah-masalah
yang bersifat menyeluruh dan mendasar mengenai pengetahuan dan ilmu
pengetahuan. Jadi objek material filsafat ilmu adalah pengetahuan dan objek
formal atau segi tinjauannya adalah menangkap, menemukan ciri-ciri umum
pengetahuan, dan bagaimana proses manusia dapat memperoleh pengetahuan dan
bagaimana kebenaran pengetahuan manusia dapat diuji dan dipertanggungjawabkan
(Jacob, 2005:6).
Terdapat teori mengenai kebenaran, antara lain (disarikan dari
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-35.html):
- The correspondence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan faktanya.
- The consistence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui benarnya terlebih dahulu.
- The pragmatic theory of truth. Benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah
kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah
kita akui kebenarannya dan tergantung kepada kemanfaatan teori tersebut bagi
kehidupan manusia. Dalam tulisan ini akan dikaji masalah ilmu pengetahuan dan
kekuasaan dari sudut pandang epistemologis, dan bagaimana pemanfaatan ilmu tersebut
dalam kaitannya dengan kekuasaan.
C. Ilmu
Pengetahuan dan Kekuasaan
Hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan itu sendiri telah lama ada.
Di zaman prailmiah, kekuasaan adalah milik Tuhan. Tidak banyak yang dapat
dilakukan manusia dalam kondisi yang paling baik sekalipun dan keadaan itu akan
memburuk sama sekali jika manusia terkena kemarahan Tuhan. Sebaliknya, dalam
dunia ilmu pengetahuan, semuanya berbeda. Segala sesuatu berjalan sesuai yang
kita kehendaki dengan pengetahuan tentang hukum alam (Bertrand Russell,
1991:14-15).
Pada abad pertengahan di Eropa, gereja yang merupakan pusat keagamaan dan
ilmu pengetahuan sekaligus juga berfungsi sebagai pusat politik dan kekuasaan.
Organisasi agama ini mengembangkan tradisi sendiri. Sekolah-sekolah biara
(skolastik) didirikan di sejumlah tempat. Dapat dikatakan bahwa kekuasaan
politik gereja sangat efektif, sehingga akhirnya berhasil memaksakan penguasa
Romawi menerima Kristen sebagai agama resmi di seluruh imperium Romawi yang
hancur karena berbagai pemberontakan. Kekuasaan gereja ini akhirnya berhasil
mendominasi perjalanan filsafat dan berbagai ilmu. Pada masa ini berbagai
universitas berdiri di berbagai kota besar di Eropa. Kurikulumnya pun harus
direstui gereja terlebih dahulu.
Ketika unsur kekuasaan menjadi begitu mengakar pada ilmu pengetahuan,
pengetahuan dan ilmuwannya menjadi semacam rezim
(http://jurnalyics.tripod.com/EDITORIAL1.htm). Segala sesuatu harus tunduk pada
peraturan penguasa. Rezim yang terbentuk sering kali sulit menghindari ungkapan
klasik dari Lord Acton, ”power tends to corrupt and absolute power corrupts
absolutely” (kekuasaan cenderung merusak dan kekuasaan yang mutlak
benar-benar merusak).
Hasil pengetahuan dalam bidang komunikasi dan informasi telah digunakan
untuk membelokkan informasi sesuai kepentingan politik dan kekuasaan, siapa
yang menguasai informasi dialah yang dapat menguasai dunia. Misalnya, informasi
dari Barat yang menyatakan Islam identik dengan terorisme, sedangkan Amerika
dan Israel yang menyerang Irak dan Palestina justru dibela terutama oleh
sekutunya dan mendapat bantuan dana untuk melaksanakan serangan tersebut.
Dalam hal ekonomi, era pasar bebas akan menguntungkan negara maju yang
otomatis memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju juga sehingga semakin
membuat negara miskin semakin miskin (lingkaran setan kemiskinan). Membanjirnya
produk ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan konsumerisme, sehingga
terjadi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia
lainnya). Mereka yang berilmu tinggi akan dapat menipu yang berilmu rendah,
sebagaimana ungkapan Francis Bacon bahwa ”ilmu adalah kekuasaan” (knowledge
is power). Jika ilmu adalah kekuasaan maka teknologi merupakan alat
kekuasaan.
Di bidang kedokteran, kloning masih menjadi pro dan kontra. Kloning
merupakan teknik penggandaan gen yang menghasilkan turunan yang
sama sifat baik dari segi hereditas maupun penampakannya
(http://id.wikipedia.org/wiki/-Kloning). Jadi dengan kata lain kloning
merupakan merupakan cara perkembangbiakan makhluk hidup untuk mendapatkan
individu atau anakan yang sama persis dengan induknya tanpa melalui proses
pembuahan. Kloning ditentang oleh banyak tokoh agama dan moral karena dianggap
melawan takdir.
Jika kloning diterapkan pada manusia, hal ini akan mengacaukan tatanan
agama yaitu perlunya keluarga dan perkawinan. Dalam artikel di situs Web
http://www.voanews.com/ indonesian/archive/2003-01/a-2003-01-22-13-1.cfm,
disebutkan bahwa ”Kloning adalah jalan menuju keabadian. Itulah kalimat yang
dilontarkan ketua sekte agama Raelian, Claude Vorilhon. Dalam sebuah wawancara
dengan jaringan televisi C-B-S, ia mengatakan, perusahaan yang didirikannya,
Clonaid, telah menjadi perusahaan pertama di dunia yang menciptakan manusia
lewat metode kloning.” Meskipun masih menjadi perdebatan, jika memang benar
terjadi, dapat dibayangkan jika kloning diselewengkan penggunaannya untuk
melahirkan dominasi ras manusia yang berkarakter tertentu yang selanjutnya
dapat mengancam tatanan sosial seperti kecemburuan, penjajahan, tindakan
semena-mena, dan sebagainya.
Hal yang sulit dihindari
tentang ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kekuasaan. Saat seseorang
berkuasa, ilmu pengetahuan yang dimilikinya akan memengaruhi segala
kebijakannya. Michel Foucault mengungkapkan bahwa pertautan kekuasaan dan ilmu
pengetahuan selalu membangun hubungan menguatkan. Kekuasaan sebagai kompleks
strategi dinamis bisa diperankan individu atau institusi, dan kekuasaan bekerja
berdasarkan mekanisme kerja ilmu pengetahuan yang dimiliki
(http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu= artikel&id=1024). Dalam hal
teknologi kloning, bisa saja hasil kloning yang digunakan untuk tumbuhan dan
hewan disalahgunakan penguasa untuk membuat manusia kloning, dengan membuat
tentara pilihan yang digunakan untuk menghabisi musuh. Hal ini bisa saja
terjadi mengingat adanya penggunaan bom atom oleh pasukan sekutu untuk
menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki semasa Perang Dunia.
”Modus operandi” pengaruh penguasa terhadap ilmu pengetahuan dapat
dikategorikan ke dalam dua cara. Pertama secara melembaga, yaitu tidak adanya
kebebasan pendidikan tinggi untuk tanpa dicampuri oleh kekuasaan luar; kedua
secara perseorangan, yakni menyangkut kebebasan seseorang untuk belajar,
mengajar, dan melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan
dengan kegiatan tersebut tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri
(Achmad Icksan dalam Mahfud dalam
http://www.mail-archive.com/gorontalomaju2020@yahoogroups.com/msg00080.html).
Namun peran ilmuwan dan kaum intelektual sebagai pengendali dan agen perubahan
ternyata juga dikuasai kepentingan kekuasaan. Mereka yang awalnya melontarkan
berbagai gagasan kritis akhirnya juga ikut larut menikmati kekuasaan dan
mengingkari idealismenya sendiri. Mereka menampilkan kesan sebagai pemecah
masalah, namun dalam banyak hal lebih terlihat sebagai pembuat masalah. Hal ini
menunjukkan bahwa posisi kaum ilmuwan dan intelektual rentan dipengaruhi
kepentingan penguasa, baik penguasa negara maupun penguasa modal (uang).
Tanggung jawab merupakan kewajiban menanggung, menjamin bahwa perbuatan
yang dilakukan itu sesuai kodrat (Setiardja, 2005:54). Jadi, seorang ilmuwan
yang mengadakan penelitian harus sanggup menggunakan kebebasannya hanya untuk
melakukan kebaikan, akan berusaha untuk mempergunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi demi kebahagiaan umat manusia, dan memperbaiki taraf hidup manusia.
Demikian halnya para penguasa dengan wewenangnya untuk mengambil kebijakan juga
harus bertanggung jawab atas pemanfaatan hasil ilmu pengetahuan tersebut
sehingga tidak terjadi penyalahgunaan yang pada akhirnya malah akan merugikan
manusia sendiri.
D. Penutup
Di atas telah
disinggung bahwa kehadiran berbagai produk ilmu pengetahuan teknologi itu tidak
lepas dari pengaruh kekuasaan. Pengaruh kekuasaan itu ada yang dijadikan
pembenaran untuk menyalahgunakan ilmu pengetahuan. Untuk itu, kita perlu
merenungkan kembali secara mendasar mengenai hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang baik bertanggung jawab atas perubahan zaman dan bermanfaat
bagi semua orang, bukan segelintir orang atau kelompok tertentu saja. Ilmu pengetahuan
adalah untuk kemanusiaan dan bukan untuk kekuasaan. Kebenaran ilmiah itu
sendiri tidaklah bersifat mutlak, tetapi relatif. Benar pada saat ini belum
tentu benar di masa depan. Agama juga diperlukan agar pemanfaatan ilmu
pengetahuan itu tidak disalahgunakan oleh kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar